Senin, 09 Januari 2012

Hak Asasi Anak di Indonesia


Terdapat banyak batasan tentang hak asasi manusia . Hendarmin Renandireksa memberikan definisi tentang hak asasi manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga Negara dari kemungkinan penindasan , pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga Negara oleh Negara. Artinya ada pembatasan tertentu yang di berlakukan pada Negara agar hak warga Negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan . Menurut Mahfud MD hak asasi itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan , dan hak tersebut bersifat fitri , bukan merupakan pemberian manusi atau Negara . Dari dua pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada seriap individu sejak dilahirkan ke muka bumi dan bukan merupakan pemberian manusi atau Negara yang wajib dilindungi oleh Negara

Di Indonesia, perhatian dari berbagai pihak terhadap pekerja anak, memperlihatkan tendensi yang semakin meningkat. Hal ini antara lain nampak dengan diratifikasinya konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 melalui keputusan presiden nomor 36 tahun 1990, ikut sertanya Indonesia dalam konferensi ILO tentang pekerja anak yang menghasilkan konvensi nomor 138 tahun 1973, dan dengan diundangkannya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang bermaksud memberikan “perlindungan” terhadap anak-anak yang “terpaksa” bekerja.
Hanya saja hal tersebut sering kali mengabaikan satu pertanyaan awal yang seharusnya terlontar, yaitu apakah anak memang mempunyai hak untuk bekerja. Pertanyaan ini memang jarang dimunculkan, karena hal itu merupakan pokok persoalan yang sifatnya sering membuat berbagai pihak menjadi serba salah. Pembahasan hal seperti itu harus menunjukkan sikap politis setiap pihak terhadap diakui tidaknya hak anak untuk bekerja. Sedangkan situasi dan konteks persoalan pekerja anakdi Indonesia terlalu kompleks untuk dijadikan dasar pertimbangan pengambilan sikap yang hitam putih. Oleh karena itu, pemikiran para pihak yang menaruh banyak perhatian pada pekerja anak, ada tidaknya hak anak untuk bekerja harus disikapi secara hati-hati. Pada tingkat tertentu justru cenderung untuk dihindari dari pembicaraan. Hal ini antara lain disebabkan karena sejumlah alasan antara lain masih belum dipahami benar kompleksitas masalahnya, kerancuan pengertian antara hak dan kewajiban anak, belum populernya perdebatan mengenai masalah ini pada tingkat konsep dan keterbatasan akses untuk mengikuti perkembangan perdebatan konsepsional di tingkat internasional.
Menurut UU nomor.12 tahun1948 disebutkan, bahwa pemerintah melarang secara mutlak tanpa pengecualian apapun, bagi anak-anak untuk bekerja. Akan tetapi, meskipun telah diperkuat dengan sanksi-sanksi pidana, adanya larangan tersebut tidaklah dapat berlaku secara efektif. Pada tataran normatif, ketidakefektifan tersebut antara lain disebabkan sikap ambivalen atau tidak serius dari pemerintah sendiri. Sikap ini tercermin dalam aspek penegakan hukumnya (law onforcement). Ketentuan di atas dimaksudkan akan diberlakukan secara bertahap dengan peraturan pemerintah. Sambil menunggu dikeluarkannya peraturan pemerintah yang dimaksud, mengenai pekerja anak semula masih diberlakukan peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda. Peraturan tersebut adalah Ordonansi tahun 1925 tentang Maatregelen ter Beperking van de Kinderbeid en de Nachtarbeid van de Vrouwen (Peraturan Tentang Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerja Wanita pada Malam Hari), sebagaimana tercantum di dalam Staatsblaad Tahun 1925 Nomor 647 dan Ordonansi Tahun 1926 tentang Bepalingen Betreffende de Arbeid van Konderen en Jeugdigde Personen aan Boord van Schepen  sebagaimana yang tercantum di dalam Staatsblaad Tahun 1926 Nomor 87. Sedangkan pada tataran sosiologi empiris, di sebagianmasyarakat sendiri, munculnya pekerja anak seringkali tidak menimbulkan reaksi sosial yang negatif. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya suatu aksioma kultural yang memandang bahwa mempekerjakan anak pada usia dini bukanlah semata-mata merupakan suatu bentuk eksploitasi pada anak, akan tetai justru merupakan suatu rangkaian proses yang memang harus dilalui oleh seorang anak untuk belajar bertanggungjawab, menimba pengalaman sebagai persiapan mereka, agar mempunyai bekal untuk kehidupannya kelak.
          Dalam hubungannya dengan pihak lain, baik orang tua maupun pemerintah, anak-anak seringkali ditempatkan di dalam posisi yang subordinan, sebagai suatu makhluk yang dipandang belum mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri.oleh karenanya, anak-anak harus selalu dilindungi dan diarahkan serta dibimbing, sehingga mereka dapat tumbuh secara wajar. Kondisi semacam ini, meskipun tidak dapat diabaikan, seringkali mendatangkan kebaikan-kebaikan tertentu di dalam perkembangan anak, akan tetapi di sisi lain justru menempatkan anak dalam posisi yang sangat rentan terhadap pelanggaran haknya. Hal ini didukung dengan adanya budaya paternalistik yang menyebabkan anak seolah-olah hanya mempunyai kewajiban saja tanpa mempunyai hak. Apabila sedang berhadapan dengan orang tua atau pemerintah, maka hanya memadang merekalah yang palin tahu apa yang terbaik bagi anaknya.
Hal tersebut justru seringkali menimbulkan kerancuan antara mana yang merupaka hak anak dan mana yang merupakan kewajiban anak. Hak mendapatkan pendidikan misalnya, sering diwujudkan menjado kewajiban untuk sekolah atau gerakan wajib belajar,kewajiban membantu orang tua, kewajiban patuh dan tunduk terhadap orang tua dan sebagainya. Masa anak-anak, merupaka hadiah yang terbaik bagi anak. Masa dimana mereka dapet bermain dan bercanda secara bebas dan berkesempatan untuk belajar semaksimakl mungkin. Dala konteks perkembangan anak, terlibat daam suatu permainan bukanlah sekedar bermain, justru dengan bermain itulah sebenarnya anak belajar untuk menjadi pintar dalam berbagai macam hal. Selama ini sering kali diyakini bahwa masa anak-anak adalah masa untuk pematangan fisik, kecerdasan, emosional, sosial dan pematangan susila. Waktu mereka seharusnya dilewatkan dalam kegembiraan dan permainan, belajar dan tumbuh sehat. Hidup mereka harus memperluas wawasan dan menerima pengalaman baru. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

0 komentar:

Posting Komentar